Kata Pengantar
Segala puji hanya
milik Allah SWT. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah
SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya kami mampu
menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata
kuliah Agama Islam.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi, namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat kerja sama kelompok kami, sehingga kendala yang kami hadapi dapat teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas pengetahuan tentang konsep islam yang meliputi; pengertian, ruang lingkup dan karakteristik ajaran islam. yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, dan referensi.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas, kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, untuk itu, kepada dosen pembimbing kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Pengertian Islam
a.
Etimologi
Berdasarkan ilmu bahasa (Etimologi) kata
”Islam” berasal dari bahasa Arab, yaitu kata salima yang berarti selamat,
sentosa dan damai. Dari kata itu terbentuk kata aslama, yuslimu, islaman, yang
berarti juga menyerahkan diri, tunduk, paruh, dan taat.
b.
Terminologi
Pengertian islam secara terminology
diungkapkan oleh Ahmad Abdullah Almasdoosi (1962) bahwa islam adalah kaidah
hidup yang diturunkan kepada manusia sejak manusia dilahirkan ke muka bumi, dan
terbina dalam bentuknya yang yang terakhir dan sempurna dalam al-Qur’an yang
suci yang diwahyukan tuhan kepada nabi nya yang terakhir, yakni nabi Muhammad
ibn Abdullah, suatu kaidah hidup yang yang memuat tuntunan yang jelas dan
lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual maupun material.
Islam juga
merupakan agama yang dibawa oleh Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Ya’kub, Nabi
Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Isa as. Dan nabi-nabi lainnya.
”Nabi
Ibrahim telah berwasiat kepada anak-anaknya, demikian pula Nabi Ya’kub, Ibrahim
berkata : Sesungguhnya Allah telah memilih agama Islam sebagai agamamu, sebab
itu janganlah kamu meninggal melainkan dalam memeluk agama Islam”. (QS. Al-Baqarah, 2:132)
Nabi Isa juga membawa
agama Islam, ”Maka ketika Nabi Isa mengetahui keingkaran dari mereka (Bani
Israil) berkata dia : Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk
menegakkan agama Allah (Islam)? Para Hawariyin (sahabat beriman kepada Allah,
dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim” (QS. Ali Imran, 3:52).
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada
Rasul-rasul-Nya untuk diajarkankan kepada manusia. Dibawa secara berantai
(estafet) dari satu generasi ke generasi selanjutnya dari satu angkatan ke
angkatan berikutnya, berisi tentang hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta.
Ruang Lingkup Islam
Makna
ruang lingkup Islam, terbagi menjdi dua :
·
Ruang lingkup Islam dalam
artiannya yang sempit adalah “arkanu Islam”
عَنْ
عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ
عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ
يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ
إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ
وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ
اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ
تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ
وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْه سَبِيْلا(رواهمسلم)
Dari ‘Umar
radhiyallahu’anhu –juga- dia berkata: Pada suatu hari, ketika kami berada di
sisi Rasulullah, tiba-tiba muncul di hadapan kami, seorang laki-laki yang
berpakaian sangat putih dan berambut hitam legam, tidak terlihat padanya
bekas-bekas perjalanan jauh, dan tidak seorangpun dari kami yang
mengenalnya.Hingga ia duduk di hadapan Nabi, lalu menyandarkan kedua lututnya
ke lutut Nabi dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya. Lalu
ia berkata, “Ya Muhammad, kabarkan kepadaku tentang Islam?” Maka Rasulullah
bersabda, ”Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Ilah yang diibadahi dengan
hak, kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat,
membayar zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan engkau berhaji ke Baitullah,
jika engkau mampu melakukannya.
(HR.Muslim)
·
Ruang lingkup Islam dalam
artianya yang luas meliputi :
1.
Aqidah
2.
Syari’at
3.
Akhlak
1.
Aqidah
Aqidah secara bahasa berasal dari kata aqada-yaqidu-aqdan yang
berarti simpul, ikatan dan perjanjian, setelah terbentuk menjadi aqidatan
(aqidah) berarti kepercayaan atau keyakinan. Secara istilah adalah sejumlah
kebenaran yang dapat diterima secara mudah oleh manusia berdasarkan akal,
wahyu, dan fitrah. Kebenaran itu diletakkan dalam hati dan menolak segala
sesuatu yang bertentangan dengan kebenran itu. (Abu Bakar Al-Jaziri dalam kitab “Aqidah al-mukmin”)
Aqidah islam berisikan tentang ajaran tentang apa saja yang
harus dipercayai, diyakini, dan diimani oleh setiap orang islam, karena agama
islam bersumber dari kepercayaan dan keiimanan kepada tuhan, maka aqidah
merupakan system kepercayaan yang mengikat manusia kepada islam. Seseorang
disebut muslim manakala dengan penuh kesadaraan dan ketulusan bersedia terikat
dengan system kepercayaan islam, karena itu aqidah merupakan ikatan dan simpul
dasar dalam Islam. Sistem kepercayaan Islam atau Aqidah dibangun atas enam
dasar keimanan yang lazim disebut rukun iman, Allah berfirman:
Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian,
maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya (Qs. An-nisa’ 136)
Menurut
Hasan Al-Bana pembahasan aqidah juga meliputi:
a.
Ilahiyah,
yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan ilah (tuhan),
seperti wujud Allah, nama-nama serta sifat-sifat allah, dan lain-lain
b.
Nubuwwah,
yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan nabi dan Rasul
termasuk mengenai kitab-kitab Allah, mu’jizat, dan sebagainya.
c.
Ruhaniyah,
yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik,
seperti malaikat, jin, setan, dan ruh.
d.
Sam’iyah,
yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui melalui dalil
naqli berupa Alqua’an dan Hadist, seperti alam barzah, akhirat, adzab, dan
sebagainya.
aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama
(din) dan diterimanya suatu amal. Allah swt berfirman
فَمَنْ
كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ
بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
Artinya: “Maka barangsiapa
mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal
shalih dan tidak menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
(Q.S. al-Kahfi: 110)
Allah swt juga berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى
الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ
مِّنَ الْخَاسِرِينَ
Artinya: “Dan sungguh telah diwahyukan
kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu, bahwa jika engkau betul-betul
melakukan kesyirikan, maka sungguh amalmu akan hancur, dan kamu benar-benar
akan termasuk orang-orang yang merugi.”
(Q.S. az-Zumar: 65)
Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para
Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam dari aspek aqidah,
sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah saw berdakwah dan mengajarkan Islam
pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan,
dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas
tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di
Makkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian
terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat, sehingga menjadi basis atau
landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan Islam selanjutnya. Sedangkan
pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat dilakukan di Madinah, dalam
rentang waktu yang lebih singkat, yaitu kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal
ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai betapa penting dan teramat pokoknya
aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.
Aqidah Islam adalah sesuatu yang bersifat tauqifi,
artinya suatu ajaran yang hanya dapat ditetapkan dengan adanya dalil dari Allah
dan Rasul-Nya. Maka, sumber ajaran aqidah Islam adalah terbatas pada al-Quran
dan Sunnah saja. Karena, tidak ada yang lebih tahu tentang Allah kecuali Allah
itu sendiri, dan tidak ada yang lebih tahu tentang Allah, setelah Allah
sendiri, kecuali Rasulullah saw.
Generasi para shahabat adalah generasi yang dinyatakan oleh
Rasululah sebagai generasi terbaik kaum muslimin. Kebaikan mereka terletak pada
pemahaman dan sekaligus pengamalannya atas ajaran-ajaran Islam secara benar dan
kaffah. Hal ini tidak mengherankan, karena mereka adalah generasi awal yang
menyaksikan langsung turunnya wahyu, dan mereka mendapat pengajaran dan
pendidikan langsung dari Rasulullah saw. Setelah generasi shahabat, kualifikasi
atau derajat kebaikan itu diikuti secara berurutan oleh generasi berikutnya
dari kalangan tabi’in, dan selanjutnya diikuti oleh generasi tabi’ut tabi’in.
Tiga generasi inilah yang secara umum disebut sebagai generasi salaf.
Rasulullah bersabda tentang mereka,
خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ…
Artinya: “Sebaik-baik
manusia adalah generasi pada masaku, lalu generasi berikutnya, lalu generasi
berikutnya…” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Generasi salaf yang shalih (al-salaf al-shalih)
mengambil pemahaman aqidah dari al-Quran dan sunnah dengan metode mengimani
atau meyakini semua yang diinformasikan (ditunjukkan) oleh kedua sumber
tersebut. Dan apa saja yang tidak terdapat dapat dalam kedua sumber itu, mereka
meniadakan dan menolaknya. Mereka mencukupkan diri dengan kedua sumber tersebut
dalam menetapkan atau meniadakan suatu pemahaman yang menjadi dasar aqidah atau
keyakinan.
Dengan metode di atas, maka para shahabat, dan generasi
berikutnya yang mengikuti mereka dangan baik (ihsan), mereka beraqidah dengan
aqidah yang sama. Di kalangan mereka tidak terjadi perselisihan dalam masalah
aqidah. Kalau pun ada perbedaan, maka perbedaan di kalangan mereka hanyalah
dalam masalah hukum yang bersifat cabang (furu’iyyah) saja, bukan dalam
masalah-masalah yang pokok (ushuliyyah). Seperti ini pula keadaan yang
terjadi di kalangan para imam madzhab yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah (th.
699-767 M), Imam Malik (tahun 712-797), Imam Syafi’i (tahun 767-820), dan Imam
Ahmad (tahun 780-855 M).
2.
Syari’at
Syari’at menurut asal katanya berarti
jalan menuju mata air, dari asal kata tersebut syari’at islam berarti jalan
yang harus ditempuh seorangmusli.
Menurut istilah syari’at adalah aturan-
aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan
manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta.
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu
tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan
Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat
berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah
menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
(agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”. (Qs, Asy-Syura:13)
“Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak
diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah)
tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu
akan memperoleh azab yang amat pedih”.(Qs. Asy-Syura 21)
Dari
Abu ‘Abdullah, Jabir bin ‘Abdullah Al Anshari radhiyallahu anhuma, sungguh ada
seorang laki-laki bertanya kepada Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
“Bagaimana pendapatmu jika aku melakukan shalat fardhu, puasa pada bulan
Ramadhan, menghalalkan yang halal (melaksanakannya dengan penuh keyakinan),
mengharamkan yang haram (menjauhinya) dan aku tidak menambahkan selain itu
sedikit pun, apakah aku akan masuk surga?" Rasulullah, “ya” (HR:Muslim)
Sahabat
yang bertanya kepada Rasulullah ini bernama Nu’man bin Qauqal Abu ‘Amr bin
Shalah mengatakan bahwa secara zhahir yang dimaksud dengan perkataan “aku
mengharamkan yang haram” mencakup dua
hal, yaitu meyakini bahwa sesuatu itu benar-benar haram dan tidak melanggarnya.
Hal ini berbeda dengan perkataan “menghalalkan yang halal”, yang mana cukup
meyakini bahwa sesuatu benar- benar halal saja.
Pengarang
kitab Al Mufhim mengatakan secara
umum bahwa Rasulullah tidak mengatakan kepada penanya di dalam Hadits ini
sesuatu yang bersifat tathawwu’ (sunnah). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum
boleh meninggalkan yang sunnah. Akan tetapi, orang yang meninggalkan yang
sunnah dan tidak mau melakukannya sedikit pun, maka ia tidak memperoleh
keuntungan yang besar dan pahala yang banyak. Akan tetapi, barang siapa
terus-menerus meninggalkan hal-hal yang sunnah, berarti telah berkurang bobot
agamanya dan berkurang pula nilai kesungguhannya dalam beragama. Barang siapa meninggalkan
yang sunnah karena sikap meremehkan atau membencinya, maka hal itu merupakan
perbuatan fasik yang patut dicela.
Para
ulama kita berpendapat : “Bila penduduk suatu negeri bersepakat meninggalkan
hal yang sunnah, maka mereka itu boleh diperangi sampai mereka sadar. Hal ini
karena pada masa sahabat dan sesudahnya, mereka sangat tekun melakukan
perbuatan-perbuatan sunnah dan perbuatan-perbuatan yang dipandang utama untuk
menyempurnakan perbuatan-perbuatan wajib. Mereka tidak membedakan antara yang sunnah
dan yang fiqih dalam memperbanyak pahala. Para imam ahli fiqih perlu
menjelaskan perbedaan antara sunnah dan wajib hanya untuk menjelaskan
konsekuensi hukum antara yang sunnah dan yang wajib jika hal itu ditinggalkan. Nabi
Muhammad tidak menjelaskan perbedaan sunnah dan wajib adalah untuk memudahkan
dan melapangkan, karena kaum muslim masih baru dengan Islamnya sehingga
dikhawatirkan membuat mereka lari dari Islam. Ketika telah diketahui
kemantapannya di dalam Islam dan kerelaan hatinya berpegang kepada agama ini,
barulah Nabi Muhammad menggalakkan perbuatan-perbuatan sunnah. Demikian juga
dengan urusan yang lain. Atau dimaksudkan agar orang tidak beranggapan bahwa
amalan tambahan dan amalan utama keduanya merupakan hal yang wajib, sehingga
jika meninggalkan konsekuensinya sama. Sebagaimana yang diriwayatkan pada
hadits lain, bahwa ada seorang sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad tentang shalat,
kemudian Nabi Muhammad memberitahukan bahwa shalat itu lima waktu, lalu orang
itu bertanya lagi : “Apakah ada kewajiban bagiku selain itu?”, Beliau menjawab
: “Tidak, kecuali engkau melakukan (shalat yang lain) dengan kemauan sendiri”. Orang
itu kemudian bertanya tentanng puasa, haji dan beberapa hukum lain, lalu beliau
jawab semuanya, kemudian, di akhir pembicaraan orang itu berkata : “Demi Allah,
aku tidak akan menambah atau mengurangi sedikitpun dari semua itu”. Nabi
Muhammad bersabda “Dia akan beruntung jika benar”, “Jika ia berpegang dengan
apa yang telah diperintahkan kepadanya, niscaya ia masuk surga”. Artinya, bila
ia memelihara hal-hal yang diwajibkan, melaksanakan dan mengerjakan tepat pada
waktunya, tanpa mengubahnya, maka dia mendapatkan keselamatan dan keberuntungan
yang besar, alangkah baiknya bila kita dapat berbuat seperti itu. Barang siapa
dapat mengerjakan yang wajib lalu diiringi dengan yang sunnah, niscaya dia akan
mendapatkan keberuntungan yang lebih besar.
Pada garis besarnya hukum Syari’at
terbagi menjadi dua dalam kaidah fiqh:
1.
Ibadah
Para Ulama salaf menetapkan kaidah dalam
pengambilan hukum Ibadah dengan menggunakan dalil (Al Qur’an dan Sunnah)
karena pada dasarnya Ibadah itu haram sebelum ada dalil (Al Qur’an dan Sunnah)
yang memerintahkanya.
ﺍﻷﺻﻞ
ﻓﻲﺍﻹﺒﺪﮦ ﺗﻮﻗﻔﻴﻪ ﻮﺇﺘﺒﻊ
“Dasar
asli pokok ibadah adalah tauqifiyah (bersumber dengan dalil) dan Ittiba’
(mengikuti sunnah)”
2.
Muamalah
berbeda dengan ibadah, muamalah pada
semua bentuknya mubah (boleh dilakukan), kecuali ada dalil yang mengharamkanya.
ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲﺍﻠﻤﻌﺎﻤﻼ ﺖﺍﻹﺒﺎ ﺒﺔ ﺍﻥﻴﺪﻝ ﺪﻠﻴﻝﻋﻠﻰ ﺘﺣﺭﻴﻤﮭﺎ
“Dasar semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkanya”.
Ruang
lingkup Sya’riah :
- sebagai
tuntunan hidup (ad din)
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya” (Qs, Ar-Rum
: 30)
2.
sebagai arahan moral (al-Millah)
Yusuf berkata: "tidak disampaikan kepada kamu berdua makanan yang akan
diberikan kepadamu melainkan aku telah dapat menerangkan jenis makanan itu,
sebelum makanan itu sampai kepadamu. yang demikian itu adalah sebagian dari apa
yang diajarkan kepadaku oleh Tuhanku. Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari
kemudian. (Qs, Yusuf 37)
3.
sebagai panduaan hukum (al-hukmu)
“dan Sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al kitab (Taurat),
kekuasaan dan kenabian dan Kami berikan kepada mereka rezki-rezki yang baik dan
Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya)”. (Qs, Al-Jatsyiah : 16)
4.
sebagai pembatas halal dan haram
(al-hudud) “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.
kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (Qs, Al-Baqarah 230)
Beberapa
kemaslahatan Sya’riat :
1.
Bersifat abadi dan sejati
(Mashalihul ‘ibad)
2.
tidak mengandung unsur kepicikan
(nafyul haraj)
3.
beban yang ringan (Qillatul
at-taklif)
4.
mewujudkan keadilan yang merata
(‘adalah ‘ammah’)
5.
menutup celah kejahatan (saddu
az-dzara’i)
3.
Akhlak
Kata akhlak merupakan bentuk jama’ dari
kata khuluq, yang artinya tingkah laku, perangai, tabi’at, dalam ihya’ ulumuddin Imam Ghozali
mendefinisikan bahwa akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa,
darinya timbul perbuatan yang mudah tanpa memerlukan timbangan pikiran
Akhlak adalah pelengkap dalam ajaran
Islam, dalam hal ini Rasullulah Saw yang berperan memberikan contoh ideal bagi
perilaku manusia, Rasulullah meletakan prinsip-prisip dasar yang harus diikuti
manusia agar bersikap lurus, konsisten dan benar, di samping mengkaji puncak
kebaikan sebagai tujuaan manusia yang paling tinggi
Bagi seorang muslim, contoh
atau teladan terbaik adalah nabi Muhammad saw. Allah sendiri yang menjadikan
beliau sebagai “uswatun hasanah” Mengapa demikian? Allah telah memuji
moralitas, akhlak beliau dengan menyatakan:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Sesungguhnya engkau
(Muhammad) berada di atas tataran akhlaq yang tertinggi agung (Qs
Al Qalam 68:4)
“sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR.Bukhari & Ahmad)
Akhlak
yang benar bertujuaan menjadi pedoman bagi prilaku manusia yang permanen bukan
hanya sebatas teori belaka, melainkan harus menjadi ilmu teknik yang dapat
diformat dimana prinsip-prisipnya berlaku ditengah-tengah masyarakat dengan
keindahan serta kelembutan akhlak yang mulia.
“orang
mukmin yang paling sempurna imanya adalah orang yang paling baik akhlaknya” (Hr. Tirmidzi)
Kitab
suci Al-Qur’an telah merangkum dengan baik seluruh dimensi akhlak mulia
dan merangkainya dalam rangkaian yang
sempurna, dimana Rasulullah Saw telah menjalankannya dan menerapkanya dengan
sebaik-baiknya.
Aisyah
r.a berkata: “Akhlaknya Rasulullah Saw adalah Al Qur’an” (Hr Muslim)
Menurut obyek atau sasarannya, Akhlak
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
a.
Akhlak kepad Allah
b.
Akhlak kepada manusia
1.
Akhlak kepada diri sendiri
2.
Akhlak kepada ibu dan bapak
3.
Akhlak kepadakeluarga
c.
Akhlak kepada Lingkungan hidup
Karakteristik
Ajaran Islam
1. Rabbaniyyah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
merupakan Rabbul alamin (Tuhan seru sekalian Alam) disebut juga dengan Rabbun
nas (Tuhan manusia) dan banyak lagi sebutan lainnya. Kalau karakteristik Islam
itu adalah Rabbaniyyah itu artinya bahwa Islam merupakan agama yg bersumber
dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala bukan dari manusia, sedangkan Nabi Muhammad SAW
tidak membuat agama ini tapi beliau hanya menyampaikannya. Karenanya dalam
kapasitasnya sebagai Nabi beliau berbicara berdasarkan wahyu yang diturunkan
kepadanya Allah berfirman dalam Surah An-Najm ayat 3-4 yang artinya “Dan
tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya ucapan itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan .”
Karena itu ajaran Islam sangat
terjamin kemurniannya sebagaimana Allah telah menjamin kemurnian Al-Qur’an
Allah berfirman dalam Surah Al-Hijr 9 yang artinya “Sesungguhnya Kami telah
menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
Disamping itu seorang muslim
tentu saja harus mengakui Allah SWT sebagai Rabb (Tuhan) dengan segala
konsekuensinya yakni mengabdi hanya kepada-Nya sehingga dia menjadi seorang
yang rabbani dari arti memiliki sikap dan prilaku dari nilai-nilai yang datang
dari Allah Swt. Allah berfirman dalam Surah Al-Imran 79 yang artinya “Tidak
wajar bagi manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab hikmah dan kenabian
lalu dia berkata kepada manusia ‘hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku
bukan penyembah Allah’ tapi dia berkata ‘hendaklah kamu menjadi orang-orang
rabbani karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan kamu tetap mempelajarinya.”
2. Insaniyyah.
Islam merupakan agama yg
diturunkan untuk manusia karena itu Islam merupakan satu-satunya agama yang
cocok dengan fitrah (pembawaan) manusia. Pada dasarnya tidak ada satupun ajaran
Islam yang bertentangan dengan jiwa manusia. Seks misalnya merupakan satu
kecenderungan jiwa manusia untuk dilampiaskan karenanya Islam tidak melarang
manusia untuk melampiaskan keinginan seksualnya selama tidak bertentangan
dengan ajaran Islam itu sendiri.
Prinsipnya manusia itu akan
mempunyai kecenderungan untuk cinta pada harta, tahta, wanita dan segala hal
yang bersifat duniawi (materi) semua itu tidak dilarang di dalam Islam namun
harus diatur keseimbangannya dengan kenikmatan ukhrawi(akhirat), Allah
berfirman dalam Surah Al-Qashash 77 yg artinya “Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu di dunia dan berbuat baikklah sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi ini. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan .”
3. Syumuliyah.
Islam merupakan agama yang
lengkap tidak hanya mengutamakan satu aspek lalu mengabaikan aspek lainnya.
Kelengkapan ajaran Islam itu nampak dari konsep Islam dalam berbagai bidang
kehidupan mulai dari urusan pribadi keluarga masyarakat sampai pada
persoalan-persoalan berbangsa dan bernegara.
karakter Islam yang ini tidak
hanya dari segi ajarannya yang rasional dan mudah diamalkan tapi juga keharusan
menegakkan ajaran Islam dengan metodologi yang islami. Karena itu di dalam
Islam kita dapat melihat konsep tentang dakwah jihad dan sebagainya. Dengan
demikian segala persoalan ada petunjuknya di dalam Islam Allah berfirman dalam
Surah An-Nahl 89 yang artinya “Dan Kami turunkan kepadamu al kitab untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yg berserah diri.”
4. Al Waqi’iyyah.
Karakteristik lain dari ajaran
Islam adalah al waqi’iyyah ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yg dapat
diamalkan oleh manusia atau dengan kata lain dapat di realisasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Islam dapat diamalkan oleh manusia meskipun mereka
berbeda latar belakang kaya miskin, pria wanita, dewasa remaja anak-anak,
berpendidikan tinggi berpendidikan rendah, bangsawan rakyat biasa, berbeda suku
adat istiadat dan sebagainya.
Disamping itu Islam sendiri
tidak bertentangan dengan realitas perkembangan zaman bahkan Islam menjadi
satu-satunya agama yg mampu menghadapi dan mengatasi dampak negatif dari
kemajuan zaman. Ini berarti Islam agama yang tidak takut dengan kemajuan zaman.
5. Al Wasathiyah
Di dunia ini ada agama yang hanya menekankan
pada persoalan-persoalan tertentu, ada yang lebih mengutamakan masalah materi
daripada masalah kerohanian atau sebaliknya. Ada pula yang lebih menekankan
aspek logika daripada perasaan dan begitulah seterusnya. Allah Swt menyebutkan
bahwa umat Islam adalah ummatan wasathan, umat yang seimbang dalam beramal baik
yang menyangkut pemenuhan terhadap kebutuhan jasmani dan akal pikiran maupun
kebutuhan rohani.
Manusia memang membutuhkan
konsep agama yang seimbang hal ini karena tawazun (keeibangan/balancing)
merupakan sunnatullah (hukum alam). Di alam semesta ini terdapat siang dan
malam gelap dan terang hujan dan panas dan begitulah seterusnya sehingga
terjadi keseimbangan dalam hidup ini. Dalam soal aqidah misalnya, banyak agama
yang menghendaki keberadaan Tuhan secara konkrit sehingga penganutnya membuat
simbol-simbol dalam bentuk patung. Ada juga agama yg menganggap tuhan sebagai
sesuatu yang abstrak sehingga masalah ketuhanan merupakan khayalan belaka
bahkan cenderung ada yang tidak percaya akan adanya tuhan sebagaimana
komunisme. Islam mempunyai konsep bahwa Tuhan merupakan sesuatu yang ada namun
adanya tidak bisa dilihat dengan mata kepala kita, keberadaannya bisa
dibuktikan dengan adanya alam semesta ini yang konkrit maka ini merupakan
konsep ketuhanan yang seimbang. Begitu pula dalam masalah lainnya seperti
peribadatan, akhlak, hukum dan sebagainya.
6. Al Wudhuh.
Karakteristik penting lainnya
dari ajaran Islam adalah konsepnya yang jelas . Kejelasan konsep Islam membuat
umatnya tidak bingung dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam bahkan
pertanyaan umat manusia tentang Islam dapat dijawab deagan jelas apalagi kalau
pertanyaan tersebut mengarah pada maksud merusak ajaran Islam itu sendiri.
Dalam masalah aqidah konsep
Islam begitu jelas sehingga dengan aqidah yang mantap seorang muslim menjadi
terikat pada ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Konsep syari’ah atau
hukumnya juga jelas sehingga umat Islam dapat melaksanakan peribadatan dengan
baik dan mampu membedakan antara yang haq (yang benar) dengan yang bathil (yang
salah), begitulah seterusnya dalam ajaran Islam yang serba jelas apalagi
pelaksanaannya dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
7. Al Jam’u Baina Ats Tsabat wa Al Murunnah.
Di dalam Islam tergabung juga
ajaran yang permanen dengan yang fleksibel . Yang dimaksud dengan yang permanen
adalah hal-hal yang tidak bisa diganggu gugat (absolut), dia mesti begitu,
misalnya shalat lima waktu yang mesti dikerjakan tapi dalam melaksanakannya ada
ketentuan yang bisa fleksibel, misalnya bila seorang muslim sakit dia bisa
shalat dengan cara duduk atau dengan cara berbaring, kalau dalam perjalanan
jauh bisa dijama’ (menggabungkan dua waktu shalat menjadi satu waktu shalat,
misalnya shalat dzuhur dan ashar, dapat dikerjakan di waktu dzuhur saja atau
ashar saja, dan tentunya dengan menggabungkannya) dan diqashar (mengabungkan
dua waktu shalat dan meringkaskan bilangan rakaatnya, khusus shalat yang
memiliki empa bilangan rakaat) dan bila tidak ada air atau dengan sebab-sebab
tertentu, berwudhu bisa diganti dengan tayamum.
Ini berarti secara prinsip
Islam tidak akan pernah mengalami perubahan namun dalam pelaksanaannya bisa
saja disesuaikan dgn situasi dan kondisinya ini bukan berarti kebenaran Islam
tidak mutlak tapi yang fleksibel adalah teknis pelaksanaannya.
Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa
Islam merupakan satu-satunya agama yg sempurna dan kesempurnaan itu memang bisa
dirasakan oleh penganutnya yg setia.
Penutup
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang
menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Kami banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan saran
yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah
di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi kami pada
khususnya juga para pembaca yang pada umumnya.
Sumber Referensi :
v Ihya’
ulumiddin oleh Abu Hamid Ghozali
v Arbain
nawawi oleh Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu
Zakaria.
v Buku
teks Pendidikan Agama Islam oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra,
Drs.
Toto Suryana, M.Pd, Prof. Dr. H. Ishak
Abdulhaq, M.Pd, Dr. H. Didin Hafiduddin
v Pendidikan
Agama Islam oleh Prof. Muhammad Daud Ali, S.H
v Majmu
ar-rasaail oleh Hasan al-banna
v Aqidah al-mukmin olehAbu Bakar
Al-Jaziri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar