Rabu, 25 Maret 2015

“PEMAHAMAN KONSEP DASAR TENTANG AJARAN ISLAM” 22 September 2013


Kata Pengantar

Segala  puji  hanya  milik  Allah SWT.  Shalawat  dan  salam semoga  selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW.  Berkat  limpahan  dan rahmat-Nya kami mampu  menyelesaikan  tugas  makalah ini guna memenuhi tugas  mata kuliah Agama Islam.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi, namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat kerja sama kelompok kami, sehingga kendala yang kami hadapi dapat  teratasi.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas pengetahuan tentang konsep islam yang meliputi; pengertian, ruang lingkup dan karakteristik ajaran islam. yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, dan referensi.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas, kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, untuk itu,  kepada  dosen  pembimbing  kami  meminta  masukannya  demi  perbaikan  pembuatan  makalah  kami  di  masa  yang  akan  datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.



 Pengertian Islam
a.       Etimologi
Berdasarkan ilmu bahasa (Etimologi) kata ”Islam” berasal dari bahasa Arab, yaitu kata salima yang berarti selamat, sentosa dan damai. Dari kata itu terbentuk kata aslama, yuslimu, islaman, yang berarti juga menyerahkan diri, tunduk, paruh, dan taat.

b.      Terminologi
Pengertian islam secara terminology diungkapkan oleh Ahmad Abdullah Almasdoosi (1962) bahwa islam adalah kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia sejak manusia dilahirkan ke muka bumi, dan terbina dalam bentuknya yang yang terakhir dan sempurna dalam al-Qur’an yang suci yang diwahyukan tuhan kepada nabi nya yang terakhir, yakni nabi Muhammad ibn Abdullah, suatu kaidah hidup yang yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual maupun material.
Islam juga merupakan agama yang dibawa oleh Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Ya’kub, Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Isa as. Dan nabi-nabi lainnya.
”Nabi Ibrahim telah berwasiat kepada anak-anaknya, demikian pula Nabi Ya’kub, Ibrahim berkata : Sesungguhnya Allah telah memilih agama Islam sebagai agamamu, sebab itu janganlah kamu meninggal melainkan dalam memeluk agama Islam”. (QS. Al-Baqarah, 2:132)
Nabi Isa juga membawa agama Islam, ”Maka ketika Nabi Isa mengetahui keingkaran dari mereka (Bani Israil) berkata dia : Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk menegakkan agama Allah (Islam)? Para Hawariyin (sahabat beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim” (QS. Ali Imran, 3:52).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-rasul-Nya untuk diajarkankan kepada manusia. Dibawa secara berantai (estafet) dari satu generasi ke generasi selanjutnya dari satu angkatan ke angkatan berikutnya, berisi tentang hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta.

Ruang Lingkup Islam
Makna ruang lingkup Islam, terbagi menjdi dua :
·         Ruang lingkup Islam dalam artiannya yang  sempit adalah “arkanu Islam”
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ   وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْه سَبِيْلا(رواهمسلم)                                                                                                 
Dari ‘Umar radhiyallahu’anhu –juga- dia berkata: Pada suatu hari, ketika kami berada di sisi Rasulullah, tiba-tiba muncul di hadapan kami, seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan berambut hitam legam, tidak terlihat padanya bekas-bekas perjalanan jauh, dan tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya.Hingga ia duduk di hadapan Nabi, lalu menyandarkan kedua lututnya ke lutut Nabi dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya. Lalu ia berkata, “Ya Muhammad, kabarkan kepadaku tentang Islam?” Maka Rasulullah bersabda, ”Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Ilah yang diibadahi dengan hak, kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan engkau berhaji ke Baitullah, jika engkau mampu melakukannya. (HR.Muslim)
·         Ruang lingkup Islam  dalam artianya yang luas meliputi :
1.      Aqidah
2.      Syari’at
3.      Akhlak 

1.      Aqidah
Aqidah secara bahasa berasal dari kata aqada-yaqidu-aqdan yang berarti simpul, ikatan dan perjanjian, setelah terbentuk menjadi aqidatan (aqidah) berarti kepercayaan atau keyakinan. Secara istilah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara mudah oleh manusia berdasarkan akal, wahyu, dan fitrah. Kebenaran itu diletakkan dalam hati dan menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenran itu. (Abu Bakar Al-Jaziri dalam kitab “Aqidah al-mukmin”)
Aqidah islam berisikan tentang ajaran tentang apa saja yang harus dipercayai, diyakini, dan diimani oleh setiap orang islam, karena agama islam bersumber dari kepercayaan dan keiimanan kepada tuhan, maka aqidah merupakan system kepercayaan yang mengikat manusia kepada islam. Seseorang disebut muslim manakala dengan penuh kesadaraan dan ketulusan bersedia terikat dengan system kepercayaan islam, karena itu aqidah merupakan ikatan dan simpul dasar dalam Islam. Sistem kepercayaan Islam atau Aqidah dibangun atas enam dasar keimanan yang lazim disebut rukun iman, Allah berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya (Qs. An-nisa’ 136)
Menurut Hasan Al-Bana pembahasan aqidah juga meliputi:
a.       Ilahiyah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan ilah (tuhan), seperti wujud Allah, nama-nama serta sifat-sifat allah, dan lain-lain
b.      Nubuwwah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan nabi dan Rasul termasuk mengenai kitab-kitab Allah, mu’jizat, dan sebagainya.
c.       Ruhaniyah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik, seperti malaikat, jin, setan, dan ruh.
d.      Sam’iyah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui melalui dalil naqli berupa Alqua’an dan Hadist, seperti alam barzah, akhirat, adzab, dan sebagainya.
aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal. Allah swt berfirman
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
Artinya: “Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Kahfi: 110)
Allah swt juga berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ الْخَاسِرِينَ                                         
Artinya: “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu, bahwa jika engkau betul-betul melakukan kesyirikan, maka sungguh amalmu akan hancur, dan kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. az-Zumar: 65)
Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah saw berdakwah dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat, sehingga menjadi basis atau landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan Islam selanjutnya. Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat dilakukan di Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat, yaitu kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai betapa penting dan teramat pokoknya aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.
Aqidah Islam adalah sesuatu yang bersifat tauqifi, artinya suatu ajaran yang hanya dapat ditetapkan dengan adanya dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Maka, sumber ajaran aqidah Islam adalah terbatas pada al-Quran dan Sunnah saja. Karena, tidak ada yang lebih tahu tentang Allah kecuali Allah itu sendiri, dan tidak ada yang lebih tahu tentang Allah, setelah Allah sendiri, kecuali Rasulullah saw.
Generasi para shahabat adalah generasi yang dinyatakan oleh Rasululah sebagai generasi terbaik kaum muslimin. Kebaikan mereka terletak pada pemahaman dan sekaligus pengamalannya atas ajaran-ajaran Islam secara benar dan kaffah. Hal ini tidak mengherankan, karena mereka adalah generasi awal yang menyaksikan langsung turunnya wahyu, dan mereka mendapat pengajaran dan pendidikan langsung dari Rasulullah saw. Setelah generasi shahabat, kualifikasi atau derajat kebaikan itu diikuti secara berurutan oleh generasi berikutnya dari kalangan tabi’in, dan selanjutnya diikuti oleh generasi tabi’ut tabi’in. Tiga generasi inilah yang secara umum disebut sebagai generasi salaf. Rasulullah bersabda tentang mereka,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ…
Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah generasi pada masaku, lalu generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya…” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Generasi salaf yang shalih (al-salaf al-shalih) mengambil pemahaman aqidah dari al-Quran dan sunnah dengan metode mengimani atau meyakini semua yang diinformasikan (ditunjukkan) oleh kedua sumber tersebut. Dan apa saja yang tidak terdapat dapat dalam kedua sumber itu, mereka meniadakan dan menolaknya. Mereka mencukupkan diri dengan kedua sumber tersebut dalam menetapkan atau meniadakan suatu pemahaman yang menjadi dasar aqidah atau keyakinan.
Dengan metode di atas, maka para shahabat, dan generasi berikutnya yang mengikuti mereka dangan baik (ihsan), mereka beraqidah dengan aqidah yang sama. Di kalangan mereka tidak terjadi perselisihan dalam masalah aqidah. Kalau pun ada perbedaan, maka perbedaan di kalangan mereka hanyalah dalam masalah hukum yang bersifat cabang (furu’iyyah) saja, bukan dalam masalah-masalah yang pokok (ushuliyyah). Seperti ini pula keadaan yang terjadi di kalangan para imam madzhab yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah (th. 699-767 M), Imam Malik (tahun 712-797), Imam Syafi’i (tahun 767-820), dan Imam Ahmad (tahun 780-855 M).

2.      Syari’at

Syari’at menurut asal katanya berarti jalan menuju mata air, dari asal kata tersebut syari’at islam berarti jalan yang harus ditempuh seorangmusli.
Menurut istilah syari’at adalah aturan- aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta.

“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”. (Qs, Asy-Syura:13)

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih”.(Qs. Asy-Syura 21)
Dari Abu ‘Abdullah, Jabir bin ‘Abdullah Al Anshari radhiyallahu anhuma, sungguh ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Bagaimana pendapatmu jika aku melakukan shalat fardhu, puasa pada bulan Ramadhan, menghalalkan yang halal (melaksanakannya dengan penuh keyakinan), mengharamkan yang haram (menjauhinya) dan aku tidak menambahkan selain itu sedikit pun, apakah aku akan masuk surga?" Rasulullah, “ya” (HR:Muslim)
Sahabat yang bertanya kepada Rasulullah ini bernama Nu’man bin Qauqal Abu ‘Amr bin Shalah mengatakan bahwa secara zhahir yang dimaksud dengan perkataan “aku mengharamkan yang haram”  mencakup dua hal, yaitu meyakini bahwa sesuatu itu benar-benar haram dan tidak melanggarnya. Hal ini berbeda dengan perkataan “menghalalkan yang halal”, yang mana cukup meyakini bahwa sesuatu benar- benar halal saja.
Pengarang kitab Al Mufhim mengatakan secara umum bahwa Rasulullah tidak mengatakan kepada penanya di dalam Hadits ini sesuatu yang bersifat tathawwu’ (sunnah). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum boleh meninggalkan yang sunnah. Akan tetapi, orang yang meninggalkan yang sunnah dan tidak mau melakukannya sedikit pun, maka ia tidak memperoleh keuntungan yang besar dan pahala yang banyak. Akan tetapi, barang siapa terus-menerus meninggalkan hal-hal yang sunnah, berarti telah berkurang bobot agamanya dan berkurang pula nilai kesungguhannya dalam beragama. Barang siapa meninggalkan yang sunnah karena sikap meremehkan atau membencinya, maka hal itu merupakan perbuatan fasik yang patut dicela.
Para ulama kita berpendapat : “Bila penduduk suatu negeri bersepakat meninggalkan hal yang sunnah, maka mereka itu boleh diperangi sampai mereka sadar. Hal ini karena pada masa sahabat dan sesudahnya, mereka sangat tekun melakukan perbuatan-perbuatan sunnah dan perbuatan-perbuatan yang dipandang utama untuk menyempurnakan perbuatan-perbuatan wajib. Mereka tidak membedakan antara yang sunnah dan yang fiqih dalam memperbanyak pahala. Para imam ahli fiqih perlu menjelaskan perbedaan antara sunnah dan wajib hanya untuk menjelaskan konsekuensi hukum antara yang sunnah dan yang wajib jika hal itu ditinggalkan. Nabi Muhammad tidak menjelaskan perbedaan sunnah dan wajib adalah untuk memudahkan dan melapangkan, karena kaum muslim masih baru dengan Islamnya sehingga dikhawatirkan membuat mereka lari dari Islam. Ketika telah diketahui kemantapannya di dalam Islam dan kerelaan hatinya berpegang kepada agama ini, barulah Nabi Muhammad menggalakkan perbuatan-perbuatan sunnah. Demikian juga dengan urusan yang lain. Atau dimaksudkan agar orang tidak beranggapan bahwa amalan tambahan dan amalan utama keduanya merupakan hal yang wajib, sehingga jika meninggalkan konsekuensinya sama. Sebagaimana yang diriwayatkan pada hadits lain, bahwa ada seorang sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad tentang shalat, kemudian Nabi Muhammad memberitahukan bahwa shalat itu lima waktu, lalu orang itu bertanya lagi : “Apakah ada kewajiban bagiku selain itu?”, Beliau menjawab : “Tidak, kecuali engkau melakukan (shalat yang lain) dengan kemauan sendiri”. Orang itu kemudian bertanya tentanng puasa, haji dan beberapa hukum lain, lalu beliau jawab semuanya, kemudian, di akhir pembicaraan orang itu berkata : “Demi Allah, aku tidak akan menambah atau mengurangi sedikitpun dari semua itu”. Nabi Muhammad bersabda “Dia akan beruntung jika benar”, “Jika ia berpegang dengan apa yang telah diperintahkan kepadanya, niscaya ia masuk surga”. Artinya, bila ia memelihara hal-hal yang diwajibkan, melaksanakan dan mengerjakan tepat pada waktunya, tanpa mengubahnya, maka dia mendapatkan keselamatan dan keberuntungan yang besar, alangkah baiknya bila kita dapat berbuat seperti itu. Barang siapa dapat mengerjakan yang wajib lalu diiringi dengan yang sunnah, niscaya dia akan mendapatkan keberuntungan yang lebih besar.
Pada garis besarnya hukum Syari’at terbagi menjadi dua dalam kaidah fiqh:
1.      Ibadah
Para Ulama salaf menetapkan kaidah dalam pengambilan hukum Ibadah  dengan menggunakan dalil (Al Qur’an dan Sunnah) karena pada dasarnya Ibadah itu haram sebelum ada dalil (Al Qur’an dan Sunnah) yang memerintahkanya.
ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲﺍﻹﺒﺪﮦ ﺗﻮﻗﻔﻴﻪ ﻮﺇﺘﺒﻊ                                                                                                                
“Dasar asli pokok ibadah adalah tauqifiyah (bersumber dengan dalil) dan Ittiba’ (mengikuti sunnah)”
2.      Muamalah
berbeda dengan ibadah, muamalah pada semua bentuknya mubah (boleh dilakukan), kecuali ada dalil yang mengharamkanya.
      ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲﺍﻠﻤﻌﺎﻤﻼ ﺖﺍﻹﺒﺎ ﺒﺔ ﺍﻥﻴﺪﻝ ﺪﻠﻴﻝﻋﻠﻰ ﺘﺣﺭﻴﻤﮭﺎ                                                                          
         “Dasar semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang           mengharamkanya”.
Ruang lingkup Sya’riah :
  1. sebagai tuntunan hidup (ad din)
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan  pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” (Qs, Ar-Rum : 30)
2.      sebagai arahan moral (al-Millah) Yusuf berkata: "tidak disampaikan kepada kamu berdua makanan yang akan diberikan kepadamu melainkan aku telah dapat menerangkan jenis makanan itu, sebelum makanan itu sampai kepadamu. yang demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadaku oleh Tuhanku. Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian. (Qs, Yusuf 37)
3.      sebagai panduaan hukum (al-hukmu) “dan Sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al kitab (Taurat), kekuasaan dan kenabian dan Kami berikan kepada mereka rezki-rezki yang baik dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya)”. (Qs, Al-Jatsyiah : 16)
4.      sebagai pembatas halal dan haram (al-hudud) “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (Qs, Al-Baqarah 230)
Beberapa kemaslahatan Sya’riat :
1.      Bersifat abadi dan sejati (Mashalihul ‘ibad)
2.      tidak mengandung unsur kepicikan (nafyul haraj)
3.      beban yang ringan (Qillatul at-taklif)
4.      mewujudkan keadilan yang merata (‘adalah ‘ammah’)
5.      menutup celah kejahatan (saddu az-dzara’i)


3.      Akhlak

Kata akhlak merupakan bentuk jama’ dari kata khuluq, yang artinya tingkah laku, perangai, tabi’at, dalam ihya’ ulumuddin Imam Ghozali mendefinisikan bahwa akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa,  darinya timbul perbuatan yang mudah tanpa memerlukan timbangan pikiran
Akhlak adalah pelengkap dalam ajaran Islam, dalam hal ini Rasullulah Saw yang berperan memberikan contoh ideal bagi perilaku manusia, Rasulullah meletakan prinsip-prisip dasar yang harus diikuti manusia agar bersikap lurus, konsisten dan benar, di samping mengkaji puncak kebaikan sebagai tujuaan manusia yang paling tinggi
Bagi seorang muslim, contoh atau teladan terbaik adalah nabi Muhammad saw. Allah sendiri yang menjadikan beliau sebagai “uswatun hasanah” Mengapa demikian? Allah telah memuji moralitas, akhlak beliau dengan menyatakan:
                                                                                                                       وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas tataran akhlaq yang tertinggi   agung (Qs Al Qalam 68:4)
 “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR.Bukhari & Ahmad)
Akhlak yang benar bertujuaan menjadi pedoman bagi prilaku manusia yang permanen bukan hanya sebatas teori belaka, melainkan harus menjadi ilmu teknik yang dapat diformat dimana prinsip-prisipnya berlaku ditengah-tengah masyarakat dengan keindahan serta kelembutan akhlak yang mulia.
“orang mukmin yang paling sempurna imanya adalah orang yang paling baik akhlaknya” (Hr. Tirmidzi)
Kitab suci Al-Qur’an telah merangkum  dengan baik seluruh dimensi akhlak mulia dan  merangkainya dalam rangkaian yang sempurna, dimana Rasulullah Saw telah menjalankannya dan menerapkanya dengan sebaik-baiknya.
Aisyah r.a  berkata: “Akhlaknya Rasulullah Saw adalah Al Qur’an” (Hr Muslim)
Menurut obyek atau sasarannya, Akhlak dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
a.    Akhlak kepad Allah
b.    Akhlak kepada manusia
1.        Akhlak kepada diri sendiri
2.        Akhlak kepada ibu dan bapak
3.        Akhlak kepadakeluarga
c.    Akhlak kepada Lingkungan hidup

Karakteristik Ajaran Islam

1.      Rabbaniyyah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala merupakan Rabbul alamin (Tuhan seru sekalian Alam) disebut juga dengan Rabbun nas (Tuhan manusia) dan banyak lagi sebutan lainnya. Kalau karakteristik Islam itu adalah Rabbaniyyah itu artinya bahwa Islam merupakan agama yg bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala bukan dari manusia, sedangkan Nabi Muhammad SAW tidak membuat agama ini tapi beliau hanya menyampaikannya. Karenanya dalam kapasitasnya sebagai Nabi beliau berbicara berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya Allah berfirman dalam Surah An-Najm ayat 3-4 yang artinya “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan .”
Karena itu ajaran Islam sangat terjamin kemurniannya sebagaimana Allah telah menjamin kemurnian Al-Qur’an Allah berfirman dalam Surah Al-Hijr 9 yang artinya “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
Disamping itu seorang muslim tentu saja harus mengakui Allah SWT sebagai Rabb (Tuhan) dengan segala konsekuensinya yakni mengabdi hanya kepada-Nya sehingga dia menjadi seorang yang rabbani dari arti memiliki sikap dan prilaku dari nilai-nilai yang datang dari Allah Swt. Allah berfirman dalam Surah Al-Imran 79 yang artinya “Tidak wajar bagi manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab hikmah dan kenabian lalu dia berkata kepada manusia ‘hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah’ tapi dia berkata ‘hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan kamu tetap mempelajarinya.”
2.      Insaniyyah.
Islam merupakan agama yg diturunkan untuk manusia karena itu Islam merupakan satu-satunya agama yang cocok dengan fitrah (pembawaan) manusia. Pada dasarnya tidak ada satupun ajaran Islam yang bertentangan dengan jiwa manusia. Seks misalnya merupakan satu kecenderungan jiwa manusia untuk dilampiaskan karenanya Islam tidak melarang manusia untuk melampiaskan keinginan seksualnya selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Prinsipnya manusia itu akan mempunyai kecenderungan untuk cinta pada harta, tahta, wanita dan segala hal yang bersifat duniawi (materi) semua itu tidak dilarang di dalam Islam namun harus diatur keseimbangannya dengan kenikmatan ukhrawi(akhirat), Allah berfirman dalam Surah Al-Qashash 77 yg artinya “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu di dunia dan berbuat baikklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi ini. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan .”
3.      Syumuliyah.
Islam merupakan agama yang lengkap tidak hanya mengutamakan satu aspek lalu mengabaikan aspek lainnya. Kelengkapan ajaran Islam itu nampak dari konsep Islam dalam berbagai bidang kehidupan mulai dari urusan pribadi keluarga masyarakat sampai pada persoalan-persoalan berbangsa dan bernegara.
karakter Islam yang ini tidak hanya dari segi ajarannya yang rasional dan mudah diamalkan tapi juga keharusan menegakkan ajaran Islam dengan metodologi yang islami. Karena itu di dalam Islam kita dapat melihat konsep tentang dakwah jihad dan sebagainya. Dengan demikian segala persoalan ada petunjuknya di dalam Islam Allah berfirman dalam Surah An-Nahl 89 yang artinya “Dan Kami turunkan kepadamu al kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yg berserah diri.”
4.      Al Waqi’iyyah.
Karakteristik lain dari ajaran Islam adalah al waqi’iyyah ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yg dapat diamalkan oleh manusia atau dengan kata lain dapat di realisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Islam dapat diamalkan oleh manusia meskipun mereka berbeda latar belakang kaya miskin, pria wanita, dewasa remaja anak-anak, berpendidikan tinggi berpendidikan rendah, bangsawan rakyat biasa, berbeda suku adat istiadat dan sebagainya.
Disamping itu Islam sendiri tidak bertentangan dengan realitas perkembangan zaman bahkan Islam menjadi satu-satunya agama yg mampu menghadapi dan mengatasi dampak negatif dari kemajuan zaman. Ini berarti Islam agama yang tidak takut dengan kemajuan zaman.
5.      Al Wasathiyah
 Di dunia ini ada agama yang hanya menekankan pada persoalan-persoalan tertentu, ada yang lebih mengutamakan masalah materi daripada masalah kerohanian atau sebaliknya. Ada pula yang lebih menekankan aspek logika daripada perasaan dan begitulah seterusnya. Allah Swt menyebutkan bahwa umat Islam adalah ummatan wasathan, umat yang seimbang dalam beramal baik yang menyangkut pemenuhan terhadap kebutuhan jasmani dan akal pikiran maupun kebutuhan rohani.
Manusia memang membutuhkan konsep agama yang seimbang hal ini karena tawazun (keeibangan/balancing) merupakan sunnatullah (hukum alam). Di alam semesta ini terdapat siang dan malam gelap dan terang hujan dan panas dan begitulah seterusnya sehingga terjadi keseimbangan dalam hidup ini. Dalam soal aqidah misalnya, banyak agama yang menghendaki keberadaan Tuhan secara konkrit sehingga penganutnya membuat simbol-simbol dalam bentuk patung. Ada juga agama yg menganggap tuhan sebagai sesuatu yang abstrak sehingga masalah ketuhanan merupakan khayalan belaka bahkan cenderung ada yang tidak percaya akan adanya tuhan sebagaimana komunisme. Islam mempunyai konsep bahwa Tuhan merupakan sesuatu yang ada namun adanya tidak bisa dilihat dengan mata kepala kita, keberadaannya bisa dibuktikan dengan adanya alam semesta ini yang konkrit maka ini merupakan konsep ketuhanan yang seimbang. Begitu pula dalam masalah lainnya seperti peribadatan, akhlak, hukum dan sebagainya.
6.      Al Wudhuh.
Karakteristik penting lainnya dari ajaran Islam adalah konsepnya yang jelas . Kejelasan konsep Islam membuat umatnya tidak bingung dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam bahkan pertanyaan umat manusia tentang Islam dapat dijawab deagan jelas apalagi kalau pertanyaan tersebut mengarah pada maksud merusak ajaran Islam itu sendiri.
Dalam masalah aqidah konsep Islam begitu jelas sehingga dengan aqidah yang mantap seorang muslim menjadi terikat pada ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Konsep syari’ah atau hukumnya juga jelas sehingga umat Islam dapat melaksanakan peribadatan dengan baik dan mampu membedakan antara yang haq (yang benar) dengan yang bathil (yang salah), begitulah seterusnya dalam ajaran Islam yang serba jelas apalagi pelaksanaannya dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
7.      Al Jam’u Baina Ats Tsabat wa Al Murunnah.
Di dalam Islam tergabung juga ajaran yang permanen dengan yang fleksibel . Yang dimaksud dengan yang permanen adalah hal-hal yang tidak bisa diganggu gugat (absolut), dia mesti begitu, misalnya shalat lima waktu yang mesti dikerjakan tapi dalam melaksanakannya ada ketentuan yang bisa fleksibel, misalnya bila seorang muslim sakit dia bisa shalat dengan cara duduk atau dengan cara berbaring, kalau dalam perjalanan jauh bisa dijama’ (menggabungkan dua waktu shalat menjadi satu waktu shalat, misalnya shalat dzuhur dan ashar, dapat dikerjakan di waktu dzuhur saja atau ashar saja, dan tentunya dengan menggabungkannya) dan diqashar (mengabungkan dua waktu shalat dan meringkaskan bilangan rakaatnya, khusus shalat yang memiliki empa bilangan rakaat) dan bila tidak ada air atau dengan sebab-sebab tertentu, berwudhu bisa diganti dengan tayamum.
Ini berarti secara prinsip Islam tidak akan pernah mengalami perubahan namun dalam pelaksanaannya bisa saja disesuaikan dgn situasi dan kondisinya ini bukan berarti kebenaran Islam tidak mutlak tapi yang fleksibel adalah teknis pelaksanaannya.

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yg sempurna dan kesempurnaan itu memang bisa dirasakan oleh penganutnya yg setia.






Penutup
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Kami banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi kami pada khususnya juga para pembaca yang pada umumnya.


























Sumber Referensi :
v  Ihya’ ulumiddin oleh Abu Hamid Ghozali
v  Arbain nawawi oleh Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria.
v  Buku teks Pendidikan Agama Islam oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra,
Drs. Toto   Suryana, M.Pd, Prof. Dr. H. Ishak Abdulhaq, M.Pd, Dr. H. Didin Hafiduddin 
v  Pendidikan Agama Islam oleh Prof. Muhammad Daud Ali, S.H
v  Majmu ar-rasaail oleh Hasan al-banna
v  Aqidah al-mukmin olehAbu Bakar Al-Jaziri



Tidak ada komentar:

Posting Komentar